Kata atau lafazh Qiyam
apabila asalnya dari kata kerja (fi'il) qaa-ma, artinya : tegak atau berdiri.
Kata qiyam juga merupakan bentuk jama' dari kata qaa-imun, artinya: yang tegak, yang berdiri.
Kata atau kalimat Lail dalam bahasa Indonesia biasanya diartikan malam, yaitu masa atau waktu yang datang sesudah siang. Maka yang disebut malam adalah masa yang terbentang dari sejak terbenam matahari hingga terbitnya.
Adapaun yang dimaksud dengan "qiyam" dalam bahasan ini adalah shalat. Adapun shalat disebut qiyam, karena pada hukum asalnya shalat itu harus dikerjakan berdiri, (kecuali ada sebab-sebab yang membolehkannya duduk seperti sakit, dan sebagainya).
Kata atau kalimat Lail dalam bahasa Indonesia biasanya diartikan malam, yaitu masa atau waktu yang datang sesudah siang. Maka yang disebut malam adalah masa yang terbentang dari sejak terbenam matahari hingga terbitnya.
Adapaun yang dimaksud dengan "qiyam" dalam bahasan ini adalah shalat. Adapun shalat disebut qiyam, karena pada hukum asalnya shalat itu harus dikerjakan berdiri, (kecuali ada sebab-sebab yang membolehkannya duduk seperti sakit, dan sebagainya).
Jadi yang dimaksud dengan QIYAMUL LAIL ialah shalat yang dikerjakan pada waktu malam dengan shifat, kaifiyat dan rakaat tertentu sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Berkenaan dengan qiyamul-lail ini Allah berfirman dalam
Al-Furqon : 63-64 yang artinya : "Dan hamba-hamba Allah yang Maha penyayang (ialah) mereka yang berjalan di permukaan bumi ini dengan merendah diri, dan apabila orang-orang jahil mengajak mereka berbicara (dengan perkataan yang tidak sopan), mereka menjawab dengan perkataan yang sopan. Dan mereka itu apabila pada waktu malam hari bersujud dan berdiri (shalat) karena (ikhlas) kepada Tuhan mereka."
Kata "yabie-tuu-na" asalnya dari kata "baa-ta; yabie-tu", artinya: mendapatkan atau melalui waktu malam, baik tidur atau tidak. Adapun kata "sujjadan", artinya: sujud dengan meletakkan dahi pada tempat sujud; dan "qiyaa-man", artinya: berdiri pada kaki. Keduanya merupakan bagian dari kaifiyat shalat, tetapi yang dimaksud adalah shalat itu sendiri.
‘Aisyah radhiyaallahu ‘anha pernah berkata, “Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat (malam), beliau berdiri hingga telapak kakinya merekah.” Lalu ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata, “Kenapa engkau melakukan semua ini. Padahal Allah Ta’ala telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” Lalu beliau menjawab. “Wahai ‘Aisyah, apakah tidak layak aku menjadi hamba yang banyak bersyukur.” (Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 4837) dan Muslim (no. 2820), lafazh ini milik Muslim)
"Qaa-ma" yang menyebabkan kedua kaki Rasulullah itu bengkak, adalah sholat yang didalamnya beliau membaca surah-surah yang panjang sehingga waktu berdirinya itu lama.
Nama - nama Qiyamul-lail Qiyamul-lail memiliki beberapa nama, tetapi hakekatnya satu. Di antara nama-nama itu adalah :
1. Shalat Tahajjud Qiyamul-lail apabila dikerjakan sesudah tidur pada malam hari, disebut Shalat Tahajjud. Tahajjud asalnya dari kata kerja (fi'il) tahajjada, artinya: bangun tidur. Firman Allah dalam Al-Isra': 79 : "Dan pada sebagian malam hendaklah engkau ber-tahajjud (bangun untuk shalat), sebagai tambahan (shalat sunnat) bagimu, niscaya Tuhan-mu akan bangkitkanmu pada kedudukan yang terpuji."
2. Qiyamu Ramadhan / Sholat tarawih Qiyamul-lail yang dikerjakan pada malam bulan Ramadhan disebut Qiyamu Ramadhan. Dalam salah satu hadits diriwayatkan: "Abu Hurairah berkata: Rasulullah menggemarkan (ummat Islam) mengerjakan qiyamu Ramadhan dengan perintah yang tidak keras" (HR Bukhari)
3. Shalat Lail. Qiyamul-lail disebut shalat lail, karena waktu mengerjakannya pada waktu malam hari. Imam Muslim meriwayatkan shalat yang dikerjakan Rasulullah dengan berjamaah pada malam bulan Ramadhan selam 3 malam dan pada malam ke 4 beliau tidak keluar untuk mengimami shalat, maka pagi harinya ditanya , beliau menjawab: "Tetapi aku khawatir shalat lail itu diwajibkan atas kamu"
4. Shalat Witir Qiyamul-lail disebut shalat witir karena jumlah rakaatnya ganjil. Imam Ibnu Hibban meriwayatkan peristiwa shalat Rasulullah di Masjid sebagaimana telah disebutkan di atas denga lafazh sebagai berikut yang artinya :"Sesungguhnya aku khawatir shalat witir itu diwajibkan atas kamu"
Shalat yang dikerjakan oleh Rasulullah dengan berjamaah di Masjid selama 3 malam itu adalah Qiyamu Ramadhan atau Qiyamul-lail. Adapaun jawaban Rasulullah ada yang meriwayatkan dengan lafazh "Shalat Lail" dan "Shalat witir". Ini menunjukkan bahwa Qiyamul-lail itu boleh disebut shalat lail apabila ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya dan boleh disebut shalat witir bila dilihat dari jumlah raka'atnya.
5. dan beberapa penamaan lainnya
APAKAH QIYAMUL LAIL DILAKSANAKAN SETELAH TIDUR ATAU BOLEH TIDAK TIDUR TERLEBIH DAHULU..??
dalam hal ini ulama berikhtilaf (berbeda pendapat) sebagian mengharuskan tidur terlebih dahulu, dan sebagian tidak mewajibkannya, tetapi yg lebih cendrung (rajih) adlh tidur dahulu, walaupun hanya sebentar..
HUKUM QIYAMUL LAIL Hukum Qiyamul Lail adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan). Shalat sunnah ini telah tetap berdasarkan dalil dari Al-Qur-an, Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan ijma’ kaum Muslimin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." [Adz-Dzaariyaat: 17-18]
Allah Ta’ala berfirman.
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." [As-Sajdah: 16-17]
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman.
"(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya?..." [Az-Zumar: 9]
Dan Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman.
"Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajjud-lah kamu...." [Al-Israa’: 79]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Shalat yang paling utama setelah shalat yang fardhu adalah shalat di waktu tengah malam.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1163 (203)), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu]
BEBERAPA KEISTIMEWAAN QIYAMUL LAIL Qiyamul Lail memiliki sekian banyak keutamaan dan keistimewaan sehingga seorang penuntut ilmu sangat ditekankan untuk mengerjakannya. Di antara keistimewaannya adalah.
[1]. Shalat Tahajjud adalah sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Sebaik-baik puasa setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, Muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat yang fardhu adalah shalat malam.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 1163 (203)), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.]
[2]. Shalat Tahajjud merupakan kemuliaan bagi seorang Mukmin. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Malaikat Jibril mendatangiku, lalu berkata, ‘Wahai Muhammad, hiduplah sekehendakmu karena kamu akan mati, cintailah seseorang sekehendakmu karena kamu akan berpisah dengannya, dan beramallah sekehendakmu karena kamu akan diberi balasan, dan ketahuilah bahwa kemuliaan seorang Mukmin itu ada pada shalat malamnya dan tidak merasa butuh terhadap manusia.” [Hadits hasan: Diriwayatkan oleh al-Hakim (IV/325), dishahihkannya dan disepakati adz-Dzahabi, sanadnya dihasankan oleh al-Mundziri dalam at-Targhiib wat Tarhiib (I/640). ]
[3]. Kebiasaan orang yang shalih. [4]. Pendekatan diri kepada Allah Ta’ala. [5]. Menjauhkan dosa. [6]. Penghapus kesalahan.
Keempat keutamaan ini (poin 3-6) terangkum dalam sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
"Hendaklah kalian melakukan shalat malam karena ia adalah kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian, ia sebagai amal taqarrub bagi kalian kepada Allah, menjauhkan dosa, dan penghapus kesalahan.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi (no. 3549), al-Hakim (I/308), dan al-Baihaqi (II/502), lafazh ini milik al-Hakim, dari Shahabat Abu Umamah al-Bahili radhiyallaahu ‘anhu.]
[7]. Shalat malam adalah wasiat yang pertama kali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sampaikan kepada penduduk Madinah ketika beliau memasukinya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Wahai manusia! Sebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah silaturahmi, dan shalatlah di malam hari ketika orang lain sedang tidur, niscaya kalian akan masuk Surga dengan selamat.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (V/451), at-Tirmidzi (no. 2485), Ibnu Majah (no. 1334, 3251), al-Hakim (III/13), ad-Darimi (I/340), dan selainnya, dari Shahabat ‘Abdullah bin Salam radhiyallaahu ‘anhu. Terangkum dalam kitab Silsilah AsShahihah (no. 569).]
[8]. Shalat malam sebagai sebab diangkatnya derajat seseorang. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ketika ditanya tentang tingkatan dalam derajat.
"Memberi makan, ucapan yang santun, dan shalat di malam hari ketika orang lain tidur.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (V/243), at-Tirmidzi (no. 3235), dan al-Hakim (I/521), dari Shahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (III/99, no. 2582).]
[9]. Dapat menguatkan hafalan Al-Qur-an, membantu bangun untuk shalat Shubuh, mencontoh generasi terdahulu, dan lainnya.
KAIFIAT/TATA CARA QIYAMUL LAIL
Dari Abu Ayub Al-Anshory RA, bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda: Sholat witir merupakan suatu hak (ibadah sunnah muakkad) barang siapa yang menghendaki, hendaklah ia hendaklah ia melaksanakan witir lima rakaat (sekali salam), dan barang siapa yang menhendaki hendaklah ia melaksanakan witir tiga rakaat (sekali salam atau dua kali salam) dan barang siap yang menghendaki hendaklah ia melaksanakn witir satu rakaat (HR Abu Daud 1260, Ibnu Majah 978)
Dari Ibnu Umar , Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW tentang sholat malam, maka Rasulullah SAW bersabda: Sholat malam dua rakat dua rakaat, dan jika kamu khawatir telah tiba waktu subuh, hendaklah ia melakukan sholat satu rakaat, sehingga ia menyempurnakan sholat yang telah dilakukannya dengan witir tersebut (HR Bukhori 990, Muslim 749)
Kalau kita melihat redaksi hadits-hadits dia atas, maka diperbolehkan bagi seseorang untuk melaksanakan sholat malam dua rakaat kemudian mengakhirinya dengan tiga rakaat sholat witir, baik dengan sekali salam maupun dua kali salam. Sebagaimana pertanyaan yang saudara tanyakan.
Ini merupakan suatu keleluasan dan keluesan, agar mempermudah bagi kita dalam melaksanakan sholat tersebut.
Bagaimana jika lebih dr itu..?? Silahkan bagi yang berkenan....
QIYAMUL LAIL PARA SHAHABAT, TABIIN, DAN TABI'UTTABIIN
Diriwayatkan dari Abu Qatadah (wafat th. 54 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada suatu malam, tiba-tiba beliau bertemu dengan Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu yang sedang mengerjakan shalat dengan melirihkan suaranya.” Abu Qatadah berkata, “Kemudian beliau bertemu dengan ‘Umar yang sedang mengerjakan shalat dengan mengeraskan suaranya. “ Abu Qatadah berkata, “Tatkala keduanya berkumpul di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata kepada keduanya, ‘Wahai Abu Bakar, aku telah melewatimu ketika engkau sedang shalat dan engkau melirihkan suaramu.’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya aku telah memperdengarkan kepada Rabb yang aku bermunajat kepada-Nya, wahai Rasulullah.’” Abu Qatadah berkata, “Kemudian beliau bertanya kepada ‘Umar, ‘Aku telah melewatimu, ketika itu engkau sedang mengerjakan shalat dengan mengeraskan suaramu.’” Abu Qatadah berkata, “Lalu ‘Umar menjawab, ‘Wahai Rasulullah, aku telah membangunkan orang-orang yang sedang tidur terlelap dan mengusir syaitan.’ Lalu Nabi bersabda, ‘Wahai Abu Bakar, keraskan suaramu sedikit.’ Dan berkata kepada ‘Umar, ‘Wahai ‘Umar, lirihkan suaramu sedikit."[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1329), at-Tirmidzi (no. 447), dan al-Hakim (I/310), lafazh ini milik Abu Dawud.]
Diriwayatkan dari Zaid bin Aslam (wafat th. 136 H) rahimahullaah bahwa ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu melakukan shalat malam dalam waktu yang cukup lama hingga di akhir malam beliau membangunkan keluarganya untuk melakukan shalat. Beliau berkata, “Shalatlah kalian! Shalatlah kalian!” Kemudian beliau membaca ayat berikut
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.' [Thaahaa: 132]” [Muwaththa’ Imam Malik (I/117, no. 5), Tafsiir ath-Thabari (III/840, no. 24461), dan Tafsiir Ibni Katsir (III/189).]
Diriwayatkan dari Ibnu Sirin rahimahullaah, ia berkata, “Isteri ‘Utsman berkata ketika beliau terbunuh, ‘Sungguh kalian telah membunuhnya. Sesungguhnya ia itu (‘Utsman bin ‘Affan, wafat th. 35 H) selalu menghidupkan malamnya dengan Al-Qur-an (dalam shalat malam).’” [Kitab az-Zuhd (no. 671), karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah.]
Diriwayatkan bahwa Dhirar bin Dhamrah al-Kinani rahimahullaah menyifati ‘Ali bin ‘Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu ketika ia dipanggil oleh Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu ‘anhuma, ia mengatakan, “Beliau (‘Ali) tidak merasa gembira dengan dunia dan gemerlapnya dan beliau merasa gembira dengan malam dan kegelapannya. Aku bersaksi kepada Allah, sesungguhnya aku pernah melihatnya pada beberapa kesempatan ketika malam telah gelap dan bintang telah tenggelam, beliau telah berdiri miring di tempat shalatnya sambil meraba jenggotnya dan menangis seperti orang yang ditimpa kesedihan. Maka seakan-akan aku mendengarnya mengatakan, ‘Wahai Rabb, wahai Rabb,’ dengan penuh permohonan kepada-Nya.” [Hilyatul Auliyaa’ (I/126, no. 261)]
Abu ‘Utsman an-Nahdi rahimahullaah mengatakan, “Aku pernah bertamu pada Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu selama tujuh hari. Ternyata dia, isterinya, dan pembantunya membagi malam menjadi tiga. Apabila yang satu telah shalat, lalu membangunkan yang lain.” [Al-Ishaabah fii Tamyiizish Shahaabah (IV/209)]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda mengenai diri ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
"Sebaik-baik orang adalah ‘Abdullah, seandainya ia mau shalat malam.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1122, 1157), Muslim (no. 2479), Ahmad (II/146), dan ad-Darimi (II/127)]
Sesudah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, ia tidak banyak tidur di waktu malam. Sebagian besar malamnya ia pergunakan untuk shalat dan memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Terkadang ia melakukannya hingga menjelang sahur. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada isteri beliau, Hafshah, “Sesungguhnya saudaramu (Ibnu ‘Umar) seorang yang shalih.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2478) dan at-Tirmidzi (no. 3825)]
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma mengatakan, “Aku pernah shalat (malam) di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di akhir malam, lalu beliau mengarahkan diriku sejajar dengannya. Tatkala selesai aku berkata, “Apakah pantas bagi seseorang jika ia melakukan shalat sejajar denganmu, padahal engkau adalah utusan Allah.’ Lalu beliau berdo’a kepada Allah agar Dia memberikan kepadaku tambahan pemahaman dan ilmu.” [ Siyar A’laamin Nubalaa’ (III/338)]
Mengenai firman Allah Ta’ala, “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam.” Al-Hasan al-Bashri rahimahullaah berkata, “Mereka hanya sebentar tidur di waktu malam.” Dan mengenai firman-Nya, “Dan di akhir malam mereka memohon ampun.” [Adz-Dzaariyaat: 17-18] Al-Hasan berkata, “Mereka memanjangkan shalat hingga waktu sahur, kemudian mereka berdo’a dan merendahkan diri.” [Kitab az-Zuhd (no. 1487), karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah]
‘Ali bin al-Husain bin Syaqiq rahimahullaah mengatakan, “Tidak pernah kulihat orang yang lebih pas bacaanya daripada Ibnul Mubarak. Tidak ada yang lebih baik bacaannya dan lebih banyak shalatnya daripada dia. Dia shalat disepanjang malam, baik dalam perjalanan (safar) maupun yang lainnya. Dia mentartilkan bacaan dan memanjangkannya, dia sengaja meninggalkan tidur agar orang lain tidak mengetahuinya saat ia shalat.” [Kitaab Jarh wat Ta’diil (I/266)]
Yahya bin Ma’in rahimahullaah mengatakan, “Aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih utama daripada Waki’ bin al-Jarrah rahimahullaah, dia tekun melakukan shalat, menghafalkan banyak hadits, sering shalat malam, dan banyak berpuasa.” Puteranya, Ibrahim, berkata, “Ayahku shalat malam dan semua penghuni rumah, sampai pembantu kami, juga ikut shalat.” [Shifatush Shafwah (II/723, no. 453)]
Kata atau lafazh Qiyam
apabila asalnya dari kata kerja (fi'il) qaa-ma, artinya : tegak atau berdiri.
Kata qiyam juga merupakan bentuk jama' dari kata qaa-imun, artinya: yang tegak, yang berdiri.
Kata atau kalimat Lail dalam bahasa Indonesia biasanya diartikan malam, yaitu masa atau waktu yang datang sesudah siang. Maka yang disebut malam adalah masa yang terbentang dari sejak terbenam matahari hingga terbitnya.
Adapaun yang dimaksud dengan "qiyam" dalam bahasan ini adalah shalat. Adapun shalat disebut qiyam, karena pada hukum asalnya shalat itu harus dikerjakan berdiri, (kecuali ada sebab-sebab yang membolehkannya duduk seperti sakit, dan sebagainya).
Jadi yang dimaksud dengan QIYAMUL LAIL ialah shalat yang dikerjakan pada waktu malam dengan shifat, kaifiyat dan rakaat tertentu sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Berkenaan dengan qiyamul-lail ini Allah berfirman dalam
Al-Furqon : 63-64 yang artinya : "Dan hamba-hamba Allah yang Maha penyayang (ialah) mereka yang berjalan di permukaan bumi ini dengan merendah diri, dan apabila orang-orang jahil mengajak mereka berbicara (dengan perkataan yang tidak sopan), mereka menjawab dengan perkataan yang sopan. Dan mereka itu apabila pada waktu malam hari bersujud dan berdiri (shalat) karena (ikhlas) kepada Tuhan mereka."
Kata "yabie-tuu-na" asalnya dari kata "baa-ta; yabie-tu", artinya: mendapatkan atau melalui waktu malam, baik tidur atau tidak. Adapun kata "sujjadan", artinya: sujud dengan meletakkan dahi pada tempat sujud; dan "qiyaa-man", artinya: berdiri pada kaki. Keduanya merupakan bagian dari kaifiyat shalat, tetapi yang dimaksud adalah shalat itu sendiri.
‘Aisyah radhiyaallahu ‘anha pernah berkata, “Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat (malam), beliau berdiri hingga telapak kakinya merekah.” Lalu ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata, “Kenapa engkau melakukan semua ini. Padahal Allah Ta’ala telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” Lalu beliau menjawab. “Wahai ‘Aisyah, apakah tidak layak aku menjadi hamba yang banyak bersyukur.” (Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 4837) dan Muslim (no. 2820), lafazh ini milik Muslim)
"Qaa-ma" yang menyebabkan kedua kaki Rasulullah itu bengkak, adalah sholat yang didalamnya beliau membaca surah-surah yang panjang sehingga waktu berdirinya itu lama.
Nama - nama Qiyamul-lail Qiyamul-lail memiliki beberapa nama, tetapi hakekatnya satu. Di antara nama-nama itu adalah :
1. Shalat Tahajjud Qiyamul-lail apabila dikerjakan sesudah tidur pada malam hari, disebut Shalat Tahajjud. Tahajjud asalnya dari kata kerja (fi'il) tahajjada, artinya: bangun tidur. Firman Allah dalam Al-Isra': 79 : "Dan pada sebagian malam hendaklah engkau ber-tahajjud (bangun untuk shalat), sebagai tambahan (shalat sunnat) bagimu, niscaya Tuhan-mu akan bangkitkanmu pada kedudukan yang terpuji."
2. Qiyamu Ramadhan / Sholat tarawih Qiyamul-lail yang dikerjakan pada malam bulan Ramadhan disebut Qiyamu Ramadhan. Dalam salah satu hadits diriwayatkan: "Abu Hurairah berkata: Rasulullah menggemarkan (ummat Islam) mengerjakan qiyamu Ramadhan dengan perintah yang tidak keras" (HR Bukhari)
3. Shalat Lail. Qiyamul-lail disebut shalat lail, karena waktu mengerjakannya pada waktu malam hari. Imam Muslim meriwayatkan shalat yang dikerjakan Rasulullah dengan berjamaah pada malam bulan Ramadhan selam 3 malam dan pada malam ke 4 beliau tidak keluar untuk mengimami shalat, maka pagi harinya ditanya , beliau menjawab: "Tetapi aku khawatir shalat lail itu diwajibkan atas kamu"
4. Shalat Witir Qiyamul-lail disebut shalat witir karena jumlah rakaatnya ganjil. Imam Ibnu Hibban meriwayatkan peristiwa shalat Rasulullah di Masjid sebagaimana telah disebutkan di atas denga lafazh sebagai berikut yang artinya :"Sesungguhnya aku khawatir shalat witir itu diwajibkan atas kamu"
Shalat yang dikerjakan oleh Rasulullah dengan berjamaah di Masjid selama 3 malam itu adalah Qiyamu Ramadhan atau Qiyamul-lail. Adapaun jawaban Rasulullah ada yang meriwayatkan dengan lafazh "Shalat Lail" dan "Shalat witir". Ini menunjukkan bahwa Qiyamul-lail itu boleh disebut shalat lail apabila ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya dan boleh disebut shalat witir bila dilihat dari jumlah raka'atnya.
5. dan beberapa penamaan lainnya
APAKAH QIYAMUL LAIL DILAKSANAKAN SETELAH TIDUR ATAU BOLEH TIDAK TIDUR TERLEBIH DAHULU..??
dalam hal ini ulama berikhtilaf (berbeda pendapat) sebagian mengharuskan tidur terlebih dahulu, dan sebagian tidak mewajibkannya, tetapi yg lebih cendrung (rajih) adlh tidur dahulu, walaupun hanya sebentar..
HUKUM QIYAMUL LAIL Hukum Qiyamul Lail adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan). Shalat sunnah ini telah tetap berdasarkan dalil dari Al-Qur-an, Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan ijma’ kaum Muslimin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." [Adz-Dzaariyaat: 17-18]
Allah Ta’ala berfirman.
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." [As-Sajdah: 16-17]
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman.
"(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya?..." [Az-Zumar: 9]
Dan Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman.
"Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajjud-lah kamu...." [Al-Israa’: 79]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Shalat yang paling utama setelah shalat yang fardhu adalah shalat di waktu tengah malam.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1163 (203)), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu]
BEBERAPA KEISTIMEWAAN QIYAMUL LAIL Qiyamul Lail memiliki sekian banyak keutamaan dan keistimewaan sehingga seorang penuntut ilmu sangat ditekankan untuk mengerjakannya. Di antara keistimewaannya adalah.
[1]. Shalat Tahajjud adalah sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Sebaik-baik puasa setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, Muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat yang fardhu adalah shalat malam.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 1163 (203)), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.]
[2]. Shalat Tahajjud merupakan kemuliaan bagi seorang Mukmin. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Malaikat Jibril mendatangiku, lalu berkata, ‘Wahai Muhammad, hiduplah sekehendakmu karena kamu akan mati, cintailah seseorang sekehendakmu karena kamu akan berpisah dengannya, dan beramallah sekehendakmu karena kamu akan diberi balasan, dan ketahuilah bahwa kemuliaan seorang Mukmin itu ada pada shalat malamnya dan tidak merasa butuh terhadap manusia.” [Hadits hasan: Diriwayatkan oleh al-Hakim (IV/325), dishahihkannya dan disepakati adz-Dzahabi, sanadnya dihasankan oleh al-Mundziri dalam at-Targhiib wat Tarhiib (I/640). ]
[3]. Kebiasaan orang yang shalih. [4]. Pendekatan diri kepada Allah Ta’ala. [5]. Menjauhkan dosa. [6]. Penghapus kesalahan.
Keempat keutamaan ini (poin 3-6) terangkum dalam sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
"Hendaklah kalian melakukan shalat malam karena ia adalah kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian, ia sebagai amal taqarrub bagi kalian kepada Allah, menjauhkan dosa, dan penghapus kesalahan.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi (no. 3549), al-Hakim (I/308), dan al-Baihaqi (II/502), lafazh ini milik al-Hakim, dari Shahabat Abu Umamah al-Bahili radhiyallaahu ‘anhu.]
[7]. Shalat malam adalah wasiat yang pertama kali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sampaikan kepada penduduk Madinah ketika beliau memasukinya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Wahai manusia! Sebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah silaturahmi, dan shalatlah di malam hari ketika orang lain sedang tidur, niscaya kalian akan masuk Surga dengan selamat.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (V/451), at-Tirmidzi (no. 2485), Ibnu Majah (no. 1334, 3251), al-Hakim (III/13), ad-Darimi (I/340), dan selainnya, dari Shahabat ‘Abdullah bin Salam radhiyallaahu ‘anhu. Terangkum dalam kitab Silsilah AsShahihah (no. 569).]
[8]. Shalat malam sebagai sebab diangkatnya derajat seseorang. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ketika ditanya tentang tingkatan dalam derajat.
"Memberi makan, ucapan yang santun, dan shalat di malam hari ketika orang lain tidur.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (V/243), at-Tirmidzi (no. 3235), dan al-Hakim (I/521), dari Shahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (III/99, no. 2582).]
[9]. Dapat menguatkan hafalan Al-Qur-an, membantu bangun untuk shalat Shubuh, mencontoh generasi terdahulu, dan lainnya.
KAIFIAT/TATA CARA QIYAMUL LAIL
Dari Abu Ayub Al-Anshory RA, bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda: Sholat witir merupakan suatu hak (ibadah sunnah muakkad) barang siapa yang menghendaki, hendaklah ia hendaklah ia melaksanakan witir lima rakaat (sekali salam), dan barang siapa yang menhendaki hendaklah ia melaksanakan witir tiga rakaat (sekali salam atau dua kali salam) dan barang siap yang menghendaki hendaklah ia melaksanakn witir satu rakaat (HR Abu Daud 1260, Ibnu Majah 978)
Dari Ibnu Umar , Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW tentang sholat malam, maka Rasulullah SAW bersabda: Sholat malam dua rakat dua rakaat, dan jika kamu khawatir telah tiba waktu subuh, hendaklah ia melakukan sholat satu rakaat, sehingga ia menyempurnakan sholat yang telah dilakukannya dengan witir tersebut (HR Bukhori 990, Muslim 749)
Kalau kita melihat redaksi hadits-hadits dia atas, maka diperbolehkan bagi seseorang untuk melaksanakan sholat malam dua rakaat kemudian mengakhirinya dengan tiga rakaat sholat witir, baik dengan sekali salam maupun dua kali salam. Sebagaimana pertanyaan yang saudara tanyakan.
Ini merupakan suatu keleluasan dan keluesan, agar mempermudah bagi kita dalam melaksanakan sholat tersebut.
Bagaimana jika lebih dr itu..?? Silahkan bagi yang berkenan....
QIYAMUL LAIL PARA SHAHABAT, TABIIN, DAN TABI'UTTABIIN
Diriwayatkan dari Abu Qatadah (wafat th. 54 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada suatu malam, tiba-tiba beliau bertemu dengan Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu yang sedang mengerjakan shalat dengan melirihkan suaranya.” Abu Qatadah berkata, “Kemudian beliau bertemu dengan ‘Umar yang sedang mengerjakan shalat dengan mengeraskan suaranya. “ Abu Qatadah berkata, “Tatkala keduanya berkumpul di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata kepada keduanya, ‘Wahai Abu Bakar, aku telah melewatimu ketika engkau sedang shalat dan engkau melirihkan suaramu.’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya aku telah memperdengarkan kepada Rabb yang aku bermunajat kepada-Nya, wahai Rasulullah.’” Abu Qatadah berkata, “Kemudian beliau bertanya kepada ‘Umar, ‘Aku telah melewatimu, ketika itu engkau sedang mengerjakan shalat dengan mengeraskan suaramu.’” Abu Qatadah berkata, “Lalu ‘Umar menjawab, ‘Wahai Rasulullah, aku telah membangunkan orang-orang yang sedang tidur terlelap dan mengusir syaitan.’ Lalu Nabi bersabda, ‘Wahai Abu Bakar, keraskan suaramu sedikit.’ Dan berkata kepada ‘Umar, ‘Wahai ‘Umar, lirihkan suaramu sedikit."[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1329), at-Tirmidzi (no. 447), dan al-Hakim (I/310), lafazh ini milik Abu Dawud.]
Diriwayatkan dari Zaid bin Aslam (wafat th. 136 H) rahimahullaah bahwa ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu melakukan shalat malam dalam waktu yang cukup lama hingga di akhir malam beliau membangunkan keluarganya untuk melakukan shalat. Beliau berkata, “Shalatlah kalian! Shalatlah kalian!” Kemudian beliau membaca ayat berikut
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.' [Thaahaa: 132]” [Muwaththa’ Imam Malik (I/117, no. 5), Tafsiir ath-Thabari (III/840, no. 24461), dan Tafsiir Ibni Katsir (III/189).]
Diriwayatkan dari Ibnu Sirin rahimahullaah, ia berkata, “Isteri ‘Utsman berkata ketika beliau terbunuh, ‘Sungguh kalian telah membunuhnya. Sesungguhnya ia itu (‘Utsman bin ‘Affan, wafat th. 35 H) selalu menghidupkan malamnya dengan Al-Qur-an (dalam shalat malam).’” [Kitab az-Zuhd (no. 671), karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah.]
Diriwayatkan bahwa Dhirar bin Dhamrah al-Kinani rahimahullaah menyifati ‘Ali bin ‘Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu ketika ia dipanggil oleh Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu ‘anhuma, ia mengatakan, “Beliau (‘Ali) tidak merasa gembira dengan dunia dan gemerlapnya dan beliau merasa gembira dengan malam dan kegelapannya. Aku bersaksi kepada Allah, sesungguhnya aku pernah melihatnya pada beberapa kesempatan ketika malam telah gelap dan bintang telah tenggelam, beliau telah berdiri miring di tempat shalatnya sambil meraba jenggotnya dan menangis seperti orang yang ditimpa kesedihan. Maka seakan-akan aku mendengarnya mengatakan, ‘Wahai Rabb, wahai Rabb,’ dengan penuh permohonan kepada-Nya.” [Hilyatul Auliyaa’ (I/126, no. 261)]
Abu ‘Utsman an-Nahdi rahimahullaah mengatakan, “Aku pernah bertamu pada Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu selama tujuh hari. Ternyata dia, isterinya, dan pembantunya membagi malam menjadi tiga. Apabila yang satu telah shalat, lalu membangunkan yang lain.” [Al-Ishaabah fii Tamyiizish Shahaabah (IV/209)]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda mengenai diri ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
"Sebaik-baik orang adalah ‘Abdullah, seandainya ia mau shalat malam.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1122, 1157), Muslim (no. 2479), Ahmad (II/146), dan ad-Darimi (II/127)]
Sesudah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, ia tidak banyak tidur di waktu malam. Sebagian besar malamnya ia pergunakan untuk shalat dan memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Terkadang ia melakukannya hingga menjelang sahur. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada isteri beliau, Hafshah, “Sesungguhnya saudaramu (Ibnu ‘Umar) seorang yang shalih.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2478) dan at-Tirmidzi (no. 3825)]
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma mengatakan, “Aku pernah shalat (malam) di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di akhir malam, lalu beliau mengarahkan diriku sejajar dengannya. Tatkala selesai aku berkata, “Apakah pantas bagi seseorang jika ia melakukan shalat sejajar denganmu, padahal engkau adalah utusan Allah.’ Lalu beliau berdo’a kepada Allah agar Dia memberikan kepadaku tambahan pemahaman dan ilmu.” [ Siyar A’laamin Nubalaa’ (III/338)]
Mengenai firman Allah Ta’ala, “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam.” Al-Hasan al-Bashri rahimahullaah berkata, “Mereka hanya sebentar tidur di waktu malam.” Dan mengenai firman-Nya, “Dan di akhir malam mereka memohon ampun.” [Adz-Dzaariyaat: 17-18] Al-Hasan berkata, “Mereka memanjangkan shalat hingga waktu sahur, kemudian mereka berdo’a dan merendahkan diri.” [Kitab az-Zuhd (no. 1487), karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah]
‘Ali bin al-Husain bin Syaqiq rahimahullaah mengatakan, “Tidak pernah kulihat orang yang lebih pas bacaanya daripada Ibnul Mubarak. Tidak ada yang lebih baik bacaannya dan lebih banyak shalatnya daripada dia. Dia shalat disepanjang malam, baik dalam perjalanan (safar) maupun yang lainnya. Dia mentartilkan bacaan dan memanjangkannya, dia sengaja meninggalkan tidur agar orang lain tidak mengetahuinya saat ia shalat.” [Kitaab Jarh wat Ta’diil (I/266)]
Yahya bin Ma’in rahimahullaah mengatakan, “Aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih utama daripada Waki’ bin al-Jarrah rahimahullaah, dia tekun melakukan shalat, menghafalkan banyak hadits, sering shalat malam, dan banyak berpuasa.” Puteranya, Ibrahim, berkata, “Ayahku shalat malam dan semua penghuni rumah, sampai pembantu kami, juga ikut shalat.” [Shifatush Shafwah (II/723, no. 453)]
Kata atau kalimat Lail dalam bahasa Indonesia biasanya diartikan malam, yaitu masa atau waktu yang datang sesudah siang. Maka yang disebut malam adalah masa yang terbentang dari sejak terbenam matahari hingga terbitnya.
Adapaun yang dimaksud dengan "qiyam" dalam bahasan ini adalah shalat. Adapun shalat disebut qiyam, karena pada hukum asalnya shalat itu harus dikerjakan berdiri, (kecuali ada sebab-sebab yang membolehkannya duduk seperti sakit, dan sebagainya).
Jadi yang dimaksud dengan QIYAMUL LAIL ialah shalat yang dikerjakan pada waktu malam dengan shifat, kaifiyat dan rakaat tertentu sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Berkenaan dengan qiyamul-lail ini Allah berfirman dalam
Al-Furqon : 63-64 yang artinya : "Dan hamba-hamba Allah yang Maha penyayang (ialah) mereka yang berjalan di permukaan bumi ini dengan merendah diri, dan apabila orang-orang jahil mengajak mereka berbicara (dengan perkataan yang tidak sopan), mereka menjawab dengan perkataan yang sopan. Dan mereka itu apabila pada waktu malam hari bersujud dan berdiri (shalat) karena (ikhlas) kepada Tuhan mereka."
Kata "yabie-tuu-na" asalnya dari kata "baa-ta; yabie-tu", artinya: mendapatkan atau melalui waktu malam, baik tidur atau tidak. Adapun kata "sujjadan", artinya: sujud dengan meletakkan dahi pada tempat sujud; dan "qiyaa-man", artinya: berdiri pada kaki. Keduanya merupakan bagian dari kaifiyat shalat, tetapi yang dimaksud adalah shalat itu sendiri.
‘Aisyah radhiyaallahu ‘anha pernah berkata, “Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat (malam), beliau berdiri hingga telapak kakinya merekah.” Lalu ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha berkata, “Kenapa engkau melakukan semua ini. Padahal Allah Ta’ala telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?” Lalu beliau menjawab. “Wahai ‘Aisyah, apakah tidak layak aku menjadi hamba yang banyak bersyukur.” (Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 4837) dan Muslim (no. 2820), lafazh ini milik Muslim)
"Qaa-ma" yang menyebabkan kedua kaki Rasulullah itu bengkak, adalah sholat yang didalamnya beliau membaca surah-surah yang panjang sehingga waktu berdirinya itu lama.
Nama - nama Qiyamul-lail Qiyamul-lail memiliki beberapa nama, tetapi hakekatnya satu. Di antara nama-nama itu adalah :
1. Shalat Tahajjud Qiyamul-lail apabila dikerjakan sesudah tidur pada malam hari, disebut Shalat Tahajjud. Tahajjud asalnya dari kata kerja (fi'il) tahajjada, artinya: bangun tidur. Firman Allah dalam Al-Isra': 79 : "Dan pada sebagian malam hendaklah engkau ber-tahajjud (bangun untuk shalat), sebagai tambahan (shalat sunnat) bagimu, niscaya Tuhan-mu akan bangkitkanmu pada kedudukan yang terpuji."
2. Qiyamu Ramadhan / Sholat tarawih Qiyamul-lail yang dikerjakan pada malam bulan Ramadhan disebut Qiyamu Ramadhan. Dalam salah satu hadits diriwayatkan: "Abu Hurairah berkata: Rasulullah menggemarkan (ummat Islam) mengerjakan qiyamu Ramadhan dengan perintah yang tidak keras" (HR Bukhari)
3. Shalat Lail. Qiyamul-lail disebut shalat lail, karena waktu mengerjakannya pada waktu malam hari. Imam Muslim meriwayatkan shalat yang dikerjakan Rasulullah dengan berjamaah pada malam bulan Ramadhan selam 3 malam dan pada malam ke 4 beliau tidak keluar untuk mengimami shalat, maka pagi harinya ditanya , beliau menjawab: "Tetapi aku khawatir shalat lail itu diwajibkan atas kamu"
4. Shalat Witir Qiyamul-lail disebut shalat witir karena jumlah rakaatnya ganjil. Imam Ibnu Hibban meriwayatkan peristiwa shalat Rasulullah di Masjid sebagaimana telah disebutkan di atas denga lafazh sebagai berikut yang artinya :"Sesungguhnya aku khawatir shalat witir itu diwajibkan atas kamu"
Shalat yang dikerjakan oleh Rasulullah dengan berjamaah di Masjid selama 3 malam itu adalah Qiyamu Ramadhan atau Qiyamul-lail. Adapaun jawaban Rasulullah ada yang meriwayatkan dengan lafazh "Shalat Lail" dan "Shalat witir". Ini menunjukkan bahwa Qiyamul-lail itu boleh disebut shalat lail apabila ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya dan boleh disebut shalat witir bila dilihat dari jumlah raka'atnya.
5. dan beberapa penamaan lainnya
APAKAH QIYAMUL LAIL DILAKSANAKAN SETELAH TIDUR ATAU BOLEH TIDAK TIDUR TERLEBIH DAHULU..??
dalam hal ini ulama berikhtilaf (berbeda pendapat) sebagian mengharuskan tidur terlebih dahulu, dan sebagian tidak mewajibkannya, tetapi yg lebih cendrung (rajih) adlh tidur dahulu, walaupun hanya sebentar..
HUKUM QIYAMUL LAIL Hukum Qiyamul Lail adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan). Shalat sunnah ini telah tetap berdasarkan dalil dari Al-Qur-an, Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan ijma’ kaum Muslimin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)." [Adz-Dzaariyaat: 17-18]
Allah Ta’ala berfirman.
"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." [As-Sajdah: 16-17]
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman.
"(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akhirat dan mengharapkan rahmat Rabb-nya?..." [Az-Zumar: 9]
Dan Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman.
"Dan pada sebagian malam hari shalat Tahajjud-lah kamu...." [Al-Israa’: 79]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Shalat yang paling utama setelah shalat yang fardhu adalah shalat di waktu tengah malam.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1163 (203)), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu]
BEBERAPA KEISTIMEWAAN QIYAMUL LAIL Qiyamul Lail memiliki sekian banyak keutamaan dan keistimewaan sehingga seorang penuntut ilmu sangat ditekankan untuk mengerjakannya. Di antara keistimewaannya adalah.
[1]. Shalat Tahajjud adalah sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Sebaik-baik puasa setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, Muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat yang fardhu adalah shalat malam.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 1163 (203)), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.]
[2]. Shalat Tahajjud merupakan kemuliaan bagi seorang Mukmin. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Malaikat Jibril mendatangiku, lalu berkata, ‘Wahai Muhammad, hiduplah sekehendakmu karena kamu akan mati, cintailah seseorang sekehendakmu karena kamu akan berpisah dengannya, dan beramallah sekehendakmu karena kamu akan diberi balasan, dan ketahuilah bahwa kemuliaan seorang Mukmin itu ada pada shalat malamnya dan tidak merasa butuh terhadap manusia.” [Hadits hasan: Diriwayatkan oleh al-Hakim (IV/325), dishahihkannya dan disepakati adz-Dzahabi, sanadnya dihasankan oleh al-Mundziri dalam at-Targhiib wat Tarhiib (I/640). ]
[3]. Kebiasaan orang yang shalih. [4]. Pendekatan diri kepada Allah Ta’ala. [5]. Menjauhkan dosa. [6]. Penghapus kesalahan.
Keempat keutamaan ini (poin 3-6) terangkum dalam sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
"Hendaklah kalian melakukan shalat malam karena ia adalah kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian, ia sebagai amal taqarrub bagi kalian kepada Allah, menjauhkan dosa, dan penghapus kesalahan.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi (no. 3549), al-Hakim (I/308), dan al-Baihaqi (II/502), lafazh ini milik al-Hakim, dari Shahabat Abu Umamah al-Bahili radhiyallaahu ‘anhu.]
[7]. Shalat malam adalah wasiat yang pertama kali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sampaikan kepada penduduk Madinah ketika beliau memasukinya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
"Wahai manusia! Sebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah silaturahmi, dan shalatlah di malam hari ketika orang lain sedang tidur, niscaya kalian akan masuk Surga dengan selamat.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (V/451), at-Tirmidzi (no. 2485), Ibnu Majah (no. 1334, 3251), al-Hakim (III/13), ad-Darimi (I/340), dan selainnya, dari Shahabat ‘Abdullah bin Salam radhiyallaahu ‘anhu. Terangkum dalam kitab Silsilah AsShahihah (no. 569).]
[8]. Shalat malam sebagai sebab diangkatnya derajat seseorang. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ketika ditanya tentang tingkatan dalam derajat.
"Memberi makan, ucapan yang santun, dan shalat di malam hari ketika orang lain tidur.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (V/243), at-Tirmidzi (no. 3235), dan al-Hakim (I/521), dari Shahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Sunan at-Tirmidzi (III/99, no. 2582).]
[9]. Dapat menguatkan hafalan Al-Qur-an, membantu bangun untuk shalat Shubuh, mencontoh generasi terdahulu, dan lainnya.
KAIFIAT/TATA CARA QIYAMUL LAIL
Dari Abu Ayub Al-Anshory RA, bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda: Sholat witir merupakan suatu hak (ibadah sunnah muakkad) barang siapa yang menghendaki, hendaklah ia hendaklah ia melaksanakan witir lima rakaat (sekali salam), dan barang siapa yang menhendaki hendaklah ia melaksanakan witir tiga rakaat (sekali salam atau dua kali salam) dan barang siap yang menghendaki hendaklah ia melaksanakn witir satu rakaat (HR Abu Daud 1260, Ibnu Majah 978)
Dari Ibnu Umar , Ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW tentang sholat malam, maka Rasulullah SAW bersabda: Sholat malam dua rakat dua rakaat, dan jika kamu khawatir telah tiba waktu subuh, hendaklah ia melakukan sholat satu rakaat, sehingga ia menyempurnakan sholat yang telah dilakukannya dengan witir tersebut (HR Bukhori 990, Muslim 749)
Kalau kita melihat redaksi hadits-hadits dia atas, maka diperbolehkan bagi seseorang untuk melaksanakan sholat malam dua rakaat kemudian mengakhirinya dengan tiga rakaat sholat witir, baik dengan sekali salam maupun dua kali salam. Sebagaimana pertanyaan yang saudara tanyakan.
Ini merupakan suatu keleluasan dan keluesan, agar mempermudah bagi kita dalam melaksanakan sholat tersebut.
Bagaimana jika lebih dr itu..?? Silahkan bagi yang berkenan....
QIYAMUL LAIL PARA SHAHABAT, TABIIN, DAN TABI'UTTABIIN
Diriwayatkan dari Abu Qatadah (wafat th. 54 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada suatu malam, tiba-tiba beliau bertemu dengan Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu yang sedang mengerjakan shalat dengan melirihkan suaranya.” Abu Qatadah berkata, “Kemudian beliau bertemu dengan ‘Umar yang sedang mengerjakan shalat dengan mengeraskan suaranya. “ Abu Qatadah berkata, “Tatkala keduanya berkumpul di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata kepada keduanya, ‘Wahai Abu Bakar, aku telah melewatimu ketika engkau sedang shalat dan engkau melirihkan suaramu.’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya aku telah memperdengarkan kepada Rabb yang aku bermunajat kepada-Nya, wahai Rasulullah.’” Abu Qatadah berkata, “Kemudian beliau bertanya kepada ‘Umar, ‘Aku telah melewatimu, ketika itu engkau sedang mengerjakan shalat dengan mengeraskan suaramu.’” Abu Qatadah berkata, “Lalu ‘Umar menjawab, ‘Wahai Rasulullah, aku telah membangunkan orang-orang yang sedang tidur terlelap dan mengusir syaitan.’ Lalu Nabi bersabda, ‘Wahai Abu Bakar, keraskan suaramu sedikit.’ Dan berkata kepada ‘Umar, ‘Wahai ‘Umar, lirihkan suaramu sedikit."[Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1329), at-Tirmidzi (no. 447), dan al-Hakim (I/310), lafazh ini milik Abu Dawud.]
Diriwayatkan dari Zaid bin Aslam (wafat th. 136 H) rahimahullaah bahwa ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu melakukan shalat malam dalam waktu yang cukup lama hingga di akhir malam beliau membangunkan keluarganya untuk melakukan shalat. Beliau berkata, “Shalatlah kalian! Shalatlah kalian!” Kemudian beliau membaca ayat berikut
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.' [Thaahaa: 132]” [Muwaththa’ Imam Malik (I/117, no. 5), Tafsiir ath-Thabari (III/840, no. 24461), dan Tafsiir Ibni Katsir (III/189).]
Diriwayatkan dari Ibnu Sirin rahimahullaah, ia berkata, “Isteri ‘Utsman berkata ketika beliau terbunuh, ‘Sungguh kalian telah membunuhnya. Sesungguhnya ia itu (‘Utsman bin ‘Affan, wafat th. 35 H) selalu menghidupkan malamnya dengan Al-Qur-an (dalam shalat malam).’” [Kitab az-Zuhd (no. 671), karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah.]
Diriwayatkan bahwa Dhirar bin Dhamrah al-Kinani rahimahullaah menyifati ‘Ali bin ‘Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu ketika ia dipanggil oleh Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu ‘anhuma, ia mengatakan, “Beliau (‘Ali) tidak merasa gembira dengan dunia dan gemerlapnya dan beliau merasa gembira dengan malam dan kegelapannya. Aku bersaksi kepada Allah, sesungguhnya aku pernah melihatnya pada beberapa kesempatan ketika malam telah gelap dan bintang telah tenggelam, beliau telah berdiri miring di tempat shalatnya sambil meraba jenggotnya dan menangis seperti orang yang ditimpa kesedihan. Maka seakan-akan aku mendengarnya mengatakan, ‘Wahai Rabb, wahai Rabb,’ dengan penuh permohonan kepada-Nya.” [Hilyatul Auliyaa’ (I/126, no. 261)]
Abu ‘Utsman an-Nahdi rahimahullaah mengatakan, “Aku pernah bertamu pada Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu selama tujuh hari. Ternyata dia, isterinya, dan pembantunya membagi malam menjadi tiga. Apabila yang satu telah shalat, lalu membangunkan yang lain.” [Al-Ishaabah fii Tamyiizish Shahaabah (IV/209)]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda mengenai diri ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma.
"Sebaik-baik orang adalah ‘Abdullah, seandainya ia mau shalat malam.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1122, 1157), Muslim (no. 2479), Ahmad (II/146), dan ad-Darimi (II/127)]
Sesudah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, ia tidak banyak tidur di waktu malam. Sebagian besar malamnya ia pergunakan untuk shalat dan memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Terkadang ia melakukannya hingga menjelang sahur. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada isteri beliau, Hafshah, “Sesungguhnya saudaramu (Ibnu ‘Umar) seorang yang shalih.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2478) dan at-Tirmidzi (no. 3825)]
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma mengatakan, “Aku pernah shalat (malam) di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di akhir malam, lalu beliau mengarahkan diriku sejajar dengannya. Tatkala selesai aku berkata, “Apakah pantas bagi seseorang jika ia melakukan shalat sejajar denganmu, padahal engkau adalah utusan Allah.’ Lalu beliau berdo’a kepada Allah agar Dia memberikan kepadaku tambahan pemahaman dan ilmu.” [ Siyar A’laamin Nubalaa’ (III/338)]
Mengenai firman Allah Ta’ala, “Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam.” Al-Hasan al-Bashri rahimahullaah berkata, “Mereka hanya sebentar tidur di waktu malam.” Dan mengenai firman-Nya, “Dan di akhir malam mereka memohon ampun.” [Adz-Dzaariyaat: 17-18] Al-Hasan berkata, “Mereka memanjangkan shalat hingga waktu sahur, kemudian mereka berdo’a dan merendahkan diri.” [Kitab az-Zuhd (no. 1487), karya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah]
‘Ali bin al-Husain bin Syaqiq rahimahullaah mengatakan, “Tidak pernah kulihat orang yang lebih pas bacaanya daripada Ibnul Mubarak. Tidak ada yang lebih baik bacaannya dan lebih banyak shalatnya daripada dia. Dia shalat disepanjang malam, baik dalam perjalanan (safar) maupun yang lainnya. Dia mentartilkan bacaan dan memanjangkannya, dia sengaja meninggalkan tidur agar orang lain tidak mengetahuinya saat ia shalat.” [Kitaab Jarh wat Ta’diil (I/266)]
Yahya bin Ma’in rahimahullaah mengatakan, “Aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih utama daripada Waki’ bin al-Jarrah rahimahullaah, dia tekun melakukan shalat, menghafalkan banyak hadits, sering shalat malam, dan banyak berpuasa.” Puteranya, Ibrahim, berkata, “Ayahku shalat malam dan semua penghuni rumah, sampai pembantu kami, juga ikut shalat.” [Shifatush Shafwah (II/723, no. 453)]
Sumber : Blogserba
0 komentar:
Posting Komentar